» » » » Sistem Pendidikan di Jerman

1 April 2004


Sistem pendidikan di Jerman berbeda dengan di Indonesia. Pendidikan dimulai dari 
1. Kinderkrippe atau penitipan anak kurang dari 2 tahun
2. Kindergarten atau taman kanak-kanak
3. Grundschule atau sekolah dasar
4.  Sekolah lanjutan ada tiga jenis: Hauptschule, Realschule dan Gymnasium
5.  Universitas: Diplome (S1- S2) dan Doktoran (S3).  Tapi sekarang di buka juga program khusus S2.

1.  Kinderkrippe
Anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja dapat menitipkan anaknya di Kinderkrippe.  Anak-anak di Kinderkrippe berusia dibawah 3 tahun.  Usia minimal berapa bulan yang dapat dititipkan di kinderkrippe belum tahu.  

Terkadang melihat anak-anak kecil ini di taman bermain di depan apartemen.  Saat pergi mereka ditarik dengan semacam gerobak. Ada beberapa pengasuh yang menemani mereka. Dari sekitar 10 anak biasanya didampingi oleh 3 orang pengasuh.

Ada teman orang Indonesia yang menikah dengan orang Jerman.  Mbak sebut saja mbak Melati mempunyai kinderkrippe di rumahnya.  Ada sekitar 5-6 anak yang diasuhnya. 

Kinderkrippe tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.  Orang tua membayar sendiri biaya pengasuhan.  


2. Kindergarten atau TK

Taman kanak-kanak dimulai dari usia anak 3 hingga 6 tahun.  Tidak ada pelajaran di TK ini, seperti membaca atau menulis.  Anak-anak di kindergarten melakukan kegiatan seperti: bermain di spielplatz (ayunan, naik sepeda, main pasir, seluncuran, dll), mewarnai, menggambar, membuat prakarya atau basteln, berenang, olah-raga, belanja, membuat kue bersama dll.

Di beberapa negara bagian, TK mendapatkan subsidi dari pemerintah.  TK tersebut gratis.  Tapi tidak semua negara bagian,  seperti negara bagian Nidersachsen dimana kota Goettingen berada.  Orang tua harus membayar penuh biaya TK.

Anak-anak bisa sekolah di TK full day atau setengah hari.  TK full day mulai dari jam 8 hingga jam 4 sore.  TK setengah hari, kelas pagi dari jam 8 - 1 siang atau kelas sore dari jam 1 - 5 sore.


3. Grundschule atau SD

SD di Jerman hanya sampai kelas 4.  Yang bisa bersekolah di SD hanya anak-anak yang sudah berumur di atas 6 tahun.  Jika saat ajaran baru, umur anak baru 5 tahun 10 bulan, tidak diperkenankan untuk melanjutkan ke SD.  Anak tersebut tetap di TK atau masuk ke Schulkindergarten atau kelas khusus sebelum masuk ke SD.


Biaya SD di Jerman gratis.  Walaupun gratis, kualitas pendidikannya sangat bagus.  Orang tua hanya dibebankan biaya membeli buku dan alat tulis.  Buku pelajaran disediakan oleh sekolah.  Tapi jika buku tersebut rusak atau terkena air misalnya, maka orang tua baru dikenakan biaya ganti.


Anak pertama sempat bersekolah di Grundschule kelas 4.  Dia bersekolah di Brudergrim Schule Goettingen.  Di sekolah tersebut disediakan kelas khusus bahasa.  Selama satu tahun sekolah di kelas, hanya belajar bahasa Jerman, renang dan mate-matika kelas 4.  Beruntung dia bisa lulus SD dan sekarang bersekolah di sekolah lanjutan Otto Hahn Gymnasium kelas 6.


Kelulusan SD ke sekolah lanjutan tidak ada ujian khusus semacam UN.  Anak-anak hanya mengikuti ujian semester.  Jika nilai bagus bisa melanjutkan ke Gymnasium.  Kalau nilai sedang bersekolah di Realschule atau Hauptschule.


Orang tua tidak bisa memilih tempat SD.  Anak harus bersekolah di SD yang terdekat dengan rumah.  Diharapkan anak-anak bersekolah dengan berjalan kaki atau naik sepeda.  Barangkali hal ini untuk alasan keamanan.


Buku dan alat tulis untuk SD sudah ditentukan jenis dan mereknya.  Seperti pinsil warna yang digunakan di sekolah adalah merk Staedler sedangkan bolpen, pinsil dan penghapus yang digunakan merk Pelikan.  Memang merk tersebut bagus dan nyaman digunakan.


Semua alat tulis dan pinsil warna yang diwajibkan oleh sekolah berbentuk segitiga.  Bentuk segitiga memudahkan anak untuk memegang alat tulis.  Anak-anak harus menulis huruf dengan tulisan tegak bersambung.  Cara memegang alat tulis dan pinsil warna pun sudah ditentukan disekolah.  Cara tersebut kata anak membuat tidak capek walaupun harus menulis banyak.  Mencoba memegang pinsil ala orang Jerman, karena tidak terbiasa, malah tidak nyaman hehehe... Pantesan tipa tulisan orang Jerman sama semua.


Sampai cara menuliskan angka pun diajarkan cara menulis dan bentuknya.  Tulisan angka mereka agak berbeda dengan kita terutama angka 1 dan 8.  Angka 1 terlihat seperti hurus A tapi tanpa penghubung.  Sedangkan angka 8 mereka seperti dua nol ditumpuk atas dan bawah.


Pinsil warna dengan sisi segitiga





Pena Pelikan dan pinsil warna Staedler dengan sisi segitiga




Cara memegang pinsil warna atau alat tulis lain


Renang adalah pelajaran wajib di SD. Sedangkan di sekolah lanjutan seperti Gymnasium renang hanya pelajaran pilihan.  Anak pertama saya mengikuti kelas ranang dari kelas 4 hingga kelas 6.  Lokasi kolam renang agak juah dari sekolah yaitu di Badeparadise.  Anak-anak ke kolam renang disediakan bus khusus (Fahrdienst) atau bus kota yang dialih fungsikan untuk mengantar anak-anak berenang.  Baik biaya masuk kolam renang atau biaya bus semua gratis.  Kolam renang Badeparadise sangat bagus.  Orang umum dikenakan biaya sepadan dengan fasilitas yang disediakan.  Kolam renang yang nyaman karena dilengkapi air hangat.  Yang menarik dari cara guru mengajar renang.  Guru tidak ikut terjun ke kolam tapi cukup berteriak-teriak di pinggir kolam memberikan instruksi. 



Shafa dan teman-teman di depan kolam renang Badeparadise


4.  Sekolah Lanjutan

Ada tiga jenis sekolah lanjutan setelah lulus SD.  

a. Hauptschule dikhususnya untuk anak-anak bermasalah, anak berkebutuhan khusus atau agak kurang menerima pelajaran.

b. Realschule semacam sekolah kejuruan.  Setelah lulus Realschule anak melanjutan ke berufbildung yang diinginkan dan bekerja. Berufbildung adalah sekolah khusus suatu pekerjaan.  Anak di Realschule tidak dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.  

c. Gymnasium, sekolah bagi anak-anak yang nantinya akan melanjutkan ke perguruan tinggi.  Anak bersekolah hingga kelas 12 kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.


Biaya pendidikan di Sekolah lanjutan ini juga gratis.  Tidak hanya itu, biaya bus juga gratis.  Padahal biaya naik bus tergolong mahal.  Biasanya kemana-mana naik sepeda.  Sehat dan gratis. Ada jalan khusus buat pesepeda dan pengendara mobil sangat ramah.  Mobil selalu mendahulukan orang pejalan kaki atau pesepeda.


Seperti halnya di SD, saat masuk sekolah buku dan alat tulis sudah ditentukan macam dan merknya.  Buku dan alat tulis ini diharus dibeli sendiri.  Untuk buku paket disediakan dari sekolah.  



Mengamati anak yang duduk di kelas 5 dan 6 Gymnasium.  Setiap materi pelajaran disediakan modul.  Modul ini dikopi dan dibagikan ke siswa.  Anak tidak dipungut biaya kopi modul.  Ada tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa dari modul tersebut.  Modul kemudian dibendel per mata pelajaran.  Sistem belajar sudah seperti masa saya kuliah.  Seperti pelajaran IPA, anak melakukan percobaan di lab kemudian membuat laporan di kertas khusus.  Saat membantu anak belajar, cukup membaca kembali satu bundel modul.  Modul tersebut diperiksan dan dinilai guru.  Penilaian meliputi: kerapian, tugas yang dikerjakan, pemahaman anak terhadap materi pelajaran.


Mata pelajaran anak di kelas 6 Gymnasium, antara lain: IPA, mate-matika, geografi, sejarah, agama, kesenian, bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa Inggris.  Anak mengikuti 3 macam pelajaran bahasa Jerman.  2 memang pelajaran di kelas dan 1 mata pelajaran semacam ekskul setelah sekolah usai.  Wali kelas yang menyarankan anak mengambil mata pelajaran bahasa Jerman tambahan agar lebih lancar dan menguasai.


Sekolah dimulai jam 7.45 hingga jam 1 siang.  Ada dua kali istirahat.  Usai sekolah biasanya anak-anak tidak pulang karena ikut kegiatan ekstra kulikuler.  Istirahan makan siang 30 menit,  kemudian ekstrakulikuler hingga jam 3 sore.  Kegiatan ekskul yang pernah diikuti anak antara lain: berenang, panjat tebing, teater, bahasa jerman.  Semester ini dia hanya ikut ekskul berenang, teater dan bahasa jerman.  Jika tidak ada ekskul terkadang dia ikut kelas bantuan mengerjakan PR atau pulang mengerjakan PR di rumah.  Kelas bantuan tersebut diasuh oleh kakak-kakak kelasnya.



Fasilitas panjat tebing indoor Uni Goettingen yang juga tempat latihan ekskul anak Ottohan Gymnasium


Sekolah di TK dan SD sangat menyenangkan dan mudah.   Anak kelas 1 SD hanya belajar menulis huruf A, B, C dst. Anak belum bisa membaca tidak masalah. Mulai menginjak Gymnasium atau kelas 5 mulai pendidikan yang sesungguhnya.  Anak di ajarkan untuk kritis, meneliti, kreatif, mengerjakan PR dan tugas-tugas lain, dll.  Jika anak dinilai tidak bisa mengikuti pelajaran di Gymnasium tetap naik kelas hanya saja sekolahnya dipindahkan ke Realschule yang tingkat kesulitan pendidikan lebih mudah.  Anak-anak yang tadinya di Realschule pun dapat berpindah ke Gymnasium jika mampu menunjukkan prestasi dengan baik. 



Saya tahu akan hal ini dari Sven, guru bantu Shafa di kelas bahasa Jerman saat masih di SD Brudergrim.  Saya kira tidak terlalu ketat sistem ini.  Ehhh ternyata betulan.  Ada 2 orang teman sekelas anak yang dipindahkan ke Realschule karena dinilai tidak bisa mengikuti pelajaran di Gymnasium.  Dua orang teman Shafa tersebut tetap naik ke kelas 6, hanya saja tidak di Otto Hahn Gymnasium (OHG) lagi.  Wah... bersyukur anak masih bisa eksis di OHG.  Dia termasuk anak yang biasa-biasa saja.  Saya hanya berpesan ke dia, "tidak perlu hebat atau sangat pintar di kelas, cukup bisa sekolah di OHG saja sudah sangat bersyukur".  Semoga dengan tidak diberi target berat justru menjadikan dia semangat belajar.



Yang menarik dari pelajaran agama.  Pelajaran agama di kelas 4 dan 5 anak, tidak hanya mempelajari agama Kristen, tapi juga agama Islam dan Yahudi.  Dasar-dasar ajaran ketiga agama tersebut diajarkan di kelas. Anak-anak juga diajak mengunjungi tempat ibadah, katedral atau gereja Katolik, gereja Evangelis atau gereja protestan, masjid dan sinagong atau tempat beribadah orang Yahudi. Pernah bertanya ke anak, agama teman-teman di kelasnya itu apa saja.  Jawaban anak, Islam, Katolik, Evangelis dan Atheis.  Cukup mengejutkan, ternyata temanya ada yang tidak mempunyai agama atau atheis.  Kalau di kita, orang atheis sudah berkonotasi sangat negatif, komunis lah atau apalah.  Barangkali teman anak ini, tidak beragama, percaya akan adanya Tuhan hanya saja belum memilih agama yang dipeluk.  Hal ini biasa saja, sah-sah saja.  Karena alasan tersebut, disekolah diajarkan pelajaran agama monoteisme (Islam, Kristen, Yahudi).  Tujuannya agar setelah anak berusia 18 tahun sudah bisa memilih agama yang sesuai dengan hatinya.


Yang menarik dari sistem gratisnya biaya pendidikan di Jerman.  Ternyata untuk membiayai pendidikan, bus sekolah, santunan per bulan bagi orang tidak mampu, santunan perbulan untuk anak (kinder geld) diperoleh dari pajak.  Pajak penghasilan di Jerman sangat tinggi.  Boleh dibilang dari 100 % gaji, 50%nya untuk pajak.  Mohon maaf tidak berdasarkan fakta hitam diatas putih tapi hasil percapakan dengan teman-teman Indonesia yang menikah dengan orang Jerman.  Uang pajak tersebutlah salah satu keran membiayai pendidikan, bus sekolah dll.  


Dan terjawab sudah pertanyaan di hati, "Kenapa orang Jerman tidak mau memberi uang kepada pengemis di kota?" Jawabannya karena mereka sudah memberikan uang  santunan orang miskin melalui pemerintah.  "Kalau ada orang miskin di jalan harusnya mereka minta uang ke pemerintah, bukan ke saya," jawab mereka.  "Ohhh.....", manggut-manggut saat mendengar penjelasan seorang bapak yang sempat mengobrol dengannya di centrum.  Oh iya, orang miskin perbulan mendapatkan santunan 500 euro dari pemerintah.  Kinder geld atau uang bantuan untuk anak-anak Jerman atau keturunan atau warga negara lain yang orang tuanya bekerja di Jerman dan membayar pajak ke pemerintah Jerman.  Kinder geld ini sebesar 200 euro.  Kalau seperti anak-anak kami tidak dapat kinder geld.  Alasannya kami bukan orang Jerman dan tidak bekerja di sini.  Ada teman orang Indonesia, anak-anak teman ini mendapatkan kinder geld.  Karena teman ini menetap dan bekerja di Jerman.


Kalau dibandingkan, di Indo gaji orang tua habis banyak untuk membiayai sekolah anak-anaknya.  Apalagi yang bersekolah di sekolah yang ada embel-embel "terpadu".  Di Jerman, gaji habis banyak untuk membayar pajak tapi tidak mengeluarkan uang lagi untuk sekolah anak.  Impas alias sama saja.  Maksudnya uangnya sama-sama terkuras heheheh...


5. Universitas.

Tidak banyak pengalaman tentang universitas di Jerman.  Apa dan bagaimana seluk beluknya belum tahu.  Yang pasti biaya pendidikan dari Diplome atau Doktoran gratis.  Kualitas bagus, Laboratorium bagus, gratis lagi.  Suami mengambil S2 dan S3 di Uni Goettingen dengan pengantar bahasa Inggris.


Boleh dikata, Jerman surganya bagi pencari Ilmu.  Suami dan anak mendapatkan pendidikan bagus tanpa modal.   Uang beasiswa dari tanah air tidak digunakan untuk membayar biaya pendidikan tapi untuk menyokong makan kami sehari-hari.  Dan uang beasiswa tersebut tidak akan cukup jika digunakan untuk bersekolah plus mengundang keluarga di Perancis atau di USA.  Akhamdulillah atas segala kemudahan. 



SD Brudergrim musin semi 2012



Bunnen tag SD Brudergrim, hari anak-anak untuk tampil di panggung




berfoto dengan guru bahasa Jerman anak, Frau Becker...



Shafa dan teman-teman kelas 5 Otto Hahn Gymnasium


Pembukaan pameran karya seni oleh walikelas Shafa




***


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

9 comments:

  1. Salam kenal mba. Saya Anita (Jakarta). Rencana akan melanjutkan S2 di TU Darmstadt Jerman selama 2 tahun pada bulan Agt 2015. Kalau saya mau bawa anak saya SD kelas 4, bgmn ya? Mohon nasihat dan pertimbangannya. Anak blm punya dasar bahasa jerman, cuma bisa english dan indonesia. Apakah bisa melanjutkan SD kelas 4 di Jerman? Adaptasi bahasanya bgmn?

    ReplyDelete
  2. Mohon informasinya dapat di cc ke email saya di anita_psari@yahoo.com. Terima kasih sebelumnya

    ReplyDelete
  3. bagus nih sedikit berbagi tentang jerman, :)

    ReplyDelete
  4. Wah pantesan German dapet gelar The Best country in the world, Btw German punya sistem jurusan ga kayak sma di Indonesia, misalnya bahasa, ips atau ipa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dinnar Pranata....wah belum tahu nich kalau yang sudah SMA mata pelajaran dan sistem belajarnya seperti apa? Mohon doanya semoga berkesempatan melanjutkan S3 dengan membawa serta anak-anak sehingga tahu pasti SMA di Jerman seperti apa...

      Dinar berani bermimpi? Kalau berani bermimpi insya allah kami bisa. Berani bermimpi berani kerja keras. Setuju kan?

      Delete
  5. Hallo Boby. Saat ini LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang dikelola oleh departemen keuangan RI sedang gencar-gencarkan menggelontorkan dana beasiswa untuk seluruh warga Indonesia yang memenuhi syarat. Silahkan browsing untuk melengkapi persyaratannya. Saya kebetuan ikutan juga seleksi beasiswa ini tapi untuk program pendidikan dalam negeri.

    Jika ingin mendapatkan beasiswa LPDP syarat utama harus mendapatkan LoA (Letter of Acceptant) di universitas tujuan di luar negeri, sudah diterima dan terdaftar di uni tersebut. Kalau syarat ini diterima insya allah LPDP akan mengucurkan dana beasiswa. So silahkan Bobby hunting profesor pembimbing di Jerman dan melakukan test TOEFL skor 550 untuk mendapatkan LoA ini.

    Teman-teman yang kuliah di Goettingen dulu (belum ada beasiswa LPDP) kuliah dengan bantuan beasiswa dari: DAAD, Erasmusmundus, DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi), dan instansi tempat kerja. Bagaimana persyaratan dari berbagai beasiswa tersebut mohon maaf tidak tahu. Tetapi umumnya beasiswa LN harus mempunyai: profesor pembimbing, LoA, sudah diterima di uni LN, TOEFL 550.

    Mumpung masih muda ayo berkarya, sekolah untuk Indonesia lebih baik. Oke Boby. Good luck semoga sukses

    ReplyDelete
  6. Wahh menarik sekali membaca tulisan ibu tentang pendidikan di Jerman. Sy guru MI yg sehari-hari bercengkrama dg anak-anak. Ketika membaca tulisan diatas betapa menyenangkannya belajar dan mengajar disana. Anak-anak sepertinya tdk terbebani dg mata pelajaran. Apalagi dg biaya pendidikan. Sy jadi ingin tahu bagaimana pemerintah Jerman memperhatikan kesejahteraan gurunya. Ditunggu cerita dari Jermannya ya bu.

    ReplyDelete
  7. Menarik sekali membaca cerita tentang pendidikan di Jerman. Anak-anak akan terjamin masa depannya tanpa repot memikirkan biaya. Sy jd ingin tahu kalau di Jerman, anak-anak perlu les diluar spt di Indonesia apa cukup bljr dr sekolah saja. Hmmm pastinya menarik membaca kisah dr Jerman lagi.

    ReplyDelete
  8. Sebelumnya terima kasih atas infonya. Sya mau tanya, apa ada peraturan yang umum dalam membahas tentang pendidikan di Jerman? Misalnya di Indonesia ada Permendiknas, uu dan pp?

    ReplyDelete