» » Kenapa dan Ada Apa dengan Gambut?

25 Februari 2017



Sabtu 25 Februari 2017, himpunan mahasiswa pascasarjana fakultas pertanian (HIMPARTA) mengundang narasumber ahli gambut, dosen Ilmu Tanah IPB, Dr. Basuki Sumawinata.  Pak Basuki dengan gaya lugas dan blak-blakan bercerita apa sih yang sebenarnya terjadi dengan gambut di Indonesia.  Pak Basuki berkepentingan untuk menyebarkan informasi agar banyak masyarakat tahu dan faham apa yang terjadi di negeri ini.







Acara sedianya akan dilaksanakan di ruang sidang Faperta. Banyak peserta yang mendaftar sehingga lokasi diskusi dipindahkan ke ruang kuliah C, dibawah gedung auditorium Toyib Hadiwinata.  Informasi adanya seminar cukup disebar melalui grup WA (whaps apps), peserta kemudian mendaftar online di http://bit.ly/2lsbZIH kemudian datang ke lokasi.  Kecanggihan teknologi sehingga menggagas suatu acara lebih mudah dan efisien.  Melalui pendaftaran online dapat diketahui berapa jumlah peserta yang hadir sekaligus dapat dicetak sebagai tanda daftar hadir.


Acara ceramah dan diskusi dimulai tepat waktu, jam 9.00.  Diskusi dibuka oleh Dr. Suwardi yang juga dosen ilmu tanah IPB sekaligus sebagai pejabat di Fakultas Pertanian.  Sambutan dari pak Suwardi dan pembacaan doa sebagai penanda dimulainya acara kemudian dilanjutkan ke sesi ceramah dan diskusi oleh Dr.  Basuki.


Posisi penulis dalam uraian berikut hanya menyampaikan apa yang didengar selama mengikuti jalannya ceramah dan diskusi yang berlangsung 3,5 jam.  Semoga tidak salah menangkap apa yang dimaksud oleh narasumber.






Berikut kurang lebih uraian yang dijelaskan Dr. Basuki Sumawinata.


Gambut

Gambut masih belum difahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.  Berita yang disampaikan di koran dan televisi kurang bisa dipegang kepercayaannya, karena terkait oleh banyak kepentingan.   Berita yang disampaikan media massa tersebut banyak yang bersifat "abu-abu" sehingga sulit dimengerti oleh orang awam.  Dr. Basuki yang berposisi sebagai peneliti yang juga konsultan di perusahaan HTI ingin membagi informasi apa yang sebenarnya terjadi tentang gambut di Indonesia.


Gambut adalah bahan organik dari bekas tumbuhan kemudian terendam air dalam kondisi anaerob sehingga proses pembusukan dan pelapukan berjalan sangat lambat.  Proses pembentukan gambut memerlukan waktu ribuan tahun, seperti contoh gambut di delta Telang Kalimantan Selatan setebal 20 cm, memerlukan waktu pembentukan selama 1.290 tahun.  Gambut di Dendang Kalsel dengan kedalaman 334 cm memerlukan waktu pembentukan selama 5.980 tahun.


Gambut di Indonesia mempunyai karakteristik kandungan air 90-95% air kemudian bahan padatan hanya 3-5%.  Berat gambut kurang lebih 0,03g/100g.  Gambut bagian atas agak padat kemudian semakin ke bawah kandungan air semakin tinggi.  Jika dibuat perbandingan sederhana, gambut bagian atas menyerupai dodol kemudian semakin ke bawah berpenampakan seperti bubur.


Literatur yang dipakai untuk mempelajari gambut di Indonesia berasal dari Eropa juga Amerika.  Kondisi gambut di Skandinavia (Eropa) berbeda dengan di Indonesia sehingga rujukan literatur kurang tepat.  Gambut di Skandinavia bertipe lembut sehingga mudah dipadatkan dan dibentuk menjadi batangan.  Gambut ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar selama musim dingin juga untuk memasak.  Kondisi gambut di Indonesia sebaliknya, kasar, kandungan air tinggi dengan topografi di setiap arealnya tidak sama dalam.


Sedikitnya penelitian dan publikasi gambut di Indonesia semakin menyulitkan untuk memperoleh informasi yang benar tentang gambut.  Jika literatur diperoleh dari buku, maka akan tertinggal informasi selama 10 tahun.  Sedangkan jika informasi diperoleh dari jurnal maka akan tertinggal informasi selama 5 tahun.  Literatur untuk belajar gambut di Indonesia berasal dari buku yang bisa jadi ketinggalan informasi puluhan tahun.



Gambut merupakan "tanah" yang miskin unsur hara.  Jika gambut dianalisis maka hanya memeriksa 3-5% padatan, yang sangat kurang semua unsur hara.  Sisanya sebanyak 90 hingga 95% adalah air.  Gambut memiliki pori sangat besar sehingga tidak dapat mengikat air.  Dapat diibaratkan gambut seperti pasir.  Air yang disiram ke pasir akan terlewat begitu saja.


Total luas gambut dunia adalah 421 juta ha, sedangkan luas gambut Indonesia minimal 16 juta ha dan maksimal 27 juta ha.  Kenapa luas gambut di Indonesia tidak bisa dihitung dengan pasti? Hal ini disebabkan oleh terbatasnya survey serta kesulitan teknis.  Bagian dalam suatu tanah atau gambut dapat diketahui dengan melakukan pengeboran.  Pengeboran di gambut sangat sulit karena sebagian besar isinya air.  Survey gambut dengan hanya menusukkan tongkat, yang merupakan cara termudah, pasti hasil pengamatan kurang dapat dipercaya.  Luas gambut dalam bentuk kisaran tersebut juga ada kaitannya dengan kegagalan program transmigrasi di daerah gambut era tahun 1970.  Diperkirakan luas gambut tahun tersebut di Indonesia seluas 27 juta ha.


Program transmigrasi di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 1969 dan 1970.  Program yang dijalankan semasa presiden Soeharto, ada peran besar IPB sebagai salah satu penentu kebijakan.  Dr. Basuki menyebut kegagalan program transmigrasi ada kesalahan dalam pengambilan keputusan, terutama untuk transmigran di daerah lahan gambut.  Lahan yang salah buka menyebabkan pH air berubah sangat masam.  Air di lahan tersebut terlihat bening tetapi rasa seperti cuka.  Lahan gambut gagal kelola tidak bisa lagi diolah menjadi lahan pertanian.  


Dr. Basuki kemudian bercerita latar belakang transmigrasi.  Indonesia di tahun 1970 an tersebut sangat kaya karena eksplorasi minyak mendapatkan hasil besar, sehingga menghasilkan banyak devisa.  Barat sebagai pemegang kendali dunia tentu saja tidak suka dengan kondisi tersebut.  Tidak senang jika Indonesia menjadi negara maju.  Presiden Soeharta menyenangi bidang pertanian.  Melihat pengalaman di masa orde lama yang runtuh karena masalah pangan, maka Soeharto menginginkan mengembang padi sebagai basis ketahanan ekonomi.  Untuk meningkatkan luasan lahan pertanian maka dibukalah lahan gambut.  Kenapa lahan gambut yang dipilih karena lahan mineral sangat terbatas jumlahnya.  Barat dalam hal ini Bank Dunia, mendukung dengan memberikan pinjaman untuk mendukung program transmigrasi.


Ribuan penduduk Jawa dan Bali yang memiliki keterbatasan ekonomi dipindahkan ke luar Jawa.  Mereka diberi lahan 2 ha, alat pertanian serta jatah hidup sembako.  Benih dibawa sendiri oleh transmigran, sedangkan pupuk tidak diberi subsidi dari pemerintah.  Penempatan penduduk di areal transmigran di atur sehingga selalu berdampingan antara orang jawa dan bali.  Dasar pertimbangan menempatkan penduduk jawa dan bali berdampingan, ternyata didasarkan akan adanya masalah hama babi hutan.  Orang jawa yang kebanyakan Islam tidak makan babi sehingga hama yang berhasil di tangkap akan dimanfaatkan oleh orang Bali.


###


Dr. Basuki menyebut program transmigrasi dengan menggunakan lahan gambut salah satu bentuk "penjerumusan".  IPB sebagai salah satu penentu kebijakan turut andil untuk bertanggung jawab atas kegagalan program tersebut.  Dasar literatur yang dipakai untuk mempelajari gambut dari Eropa dan Amerika yang sudah disebutkan di atas tidak sesuai dengan karakteristik gambut di Indonesia.  Literatur tentang gambut di Indonesia saat itu belum banyak atau bahkan belum ada.  Survey yang dilakukan pun belum merata untuk tiap kondisi gambut.  Program transmigrasi proyek besar yang dikerjakan secara terburu-buru. World Bank "menjerumuskan" dengan pinjaman hutang proyek, agar terjadi masalah, dengan membuka gambut tanpa dasar pengetahuan memadai. 


Malaysia di tahun 1970 an juga mulai pengembangkan sektor pertanian.  Perkebunan kelapa sawit sebagai basis pembangunan ekonomi mereka.  Saat itu juga banyak yang mencemooh program yang digagas Mahatir Mohammad.  Dengan lantang Mahatir mengatakan, jika tidak ada yang membeli minyak kelapa sawit akan dipakai sendiri di dalam negeri.  Dan terbukti, kegigihan Mahatir mengembangkan kelapa sawit membuah hasil. Kelapa sawit menjadi andalan ekonomi Malaysia saat ini.


Jadi di era 1970, Indonesia mengembangkan padi sedangkan Malaysia mengembangkan kelapa sawit sebagai basis kekuatan ekonomi.  Pengembangan padi di Indonesia boleh dikatakan membawa hasil stagnan, sedangkan pengembangan kelapa sawit di Malaysia membuah hasil manis.


Setelah Indonesia menyadari bahwa kelapa sawit adalah emas yang dapat memberikan kesejahteraan, maka perkebunan kelapa sawit  di Indonesia mulai berkembang pesat di tahun 2000 an.


###


Secara trandisional masyarakat di Riau atau di Kalimantan Selatan sudah beradaptasi dan bertani dengan memanfaatkan lahan gambut.  Gambut di Kalsel dapat digambarkan sebagai suatu wilayah dengan siraman air pasang konstan.  Ada kalanya air limpasan pasang sangat besar sehingga akan merendam kawasan gambut.  Ada kalanya air limpasan pasang tidak terlalu besar yang hanya membasahi daerah bagian pinggir saja.  Gambut yang di manfaatkan masyarakat tradisional Riau dan Kalsel adalah gambut yang berada di bagian pinggir, yang selalu menerima limpasan air pasang baik besar dan kecil.  Air limpasan ini membawa lumpur yang mengandung banyak unsur hara yang diperlukan untuk tanaman pertanian.


Sewaktu pembukaan lahan gambut untuk transmigrasi, wilayah gambut  dibuka semua, meliputi daerah pinggir yang selalu mendapatkan lumpur dari air pasang dan daerah pedalaman yang mendapatkan air pasang jika sangat besar. 


Sudah disebutkan sebelumnya bahwa gambut adalah tanah yang miskin hara.  Tentu saja hasil pertanian di gambut bagian pinggir akan bagus karena mendapat hara dari pasang air sungi, sedangkan gambut di pedalaman sebaliknya.  Keberhasilan gambut sebagai lahan pertanian yang ditunjukkan ke khalayak umum hanya di gambut pinggir.  Sedangkan gambut salah kelola di daerah pedalaman, yang bahwa pH air menjadi sangat asam, disembunyikan rapat-rapat.  Mana ada padi dapat hidup dalam kondisi air seperti cuka.



Nah kemudian kemana transmigran yang sudah terlanjur ditempatkan di daerah tersebut? Bertani tidak mungkin karena tanaman tidak dapat hidup. Bagaimana transmigran harus tersebut menyambung hidup di rantau?  Cerita disimpan dulu...


###


Dr.  Basuki disamping mengajar juga sebagai konsultan perusahaan HTI besar di Indonesia.  Dengan adanya kegagalan program pembukaan gambut di daerah pedalaman maka dibuat peraturan dilarang memanfaatkan gambut yang mempunyai kedalaman di atas 3 m.


Tata kelola gambut yang dilakukan Dr. Basuki di lahan HTI adalah membuat parit dengan kontur berbentuk lingkaran. Seperti contoh terasering di Bali, dibuat kontur berputar sesuai dengan ketinggian bukit.  Dengan demikian air yang ada di gambut selalu mengalir berputar, sesuai dengan ketinggiannya.  Pusat lingkaran adalah daerah yang memiliki gambut paling dalam.  Jika dilihat dari atas, tidak tampak seperti gunung.    Nah di gambut tidak terlihat bukit, hanya berupa daerah yang datar saja.  Perbedaan itu ada di dalam tanah.  Bagian tengah adalah puncak gambut yang paling dalam.


Dengan sistem tata kelola gambut seperti yang disarankan Dr. Basuki maka tidak akan mungkin terjadi kebakaran lahan gambut.  Air masih berada di wilayah gambut hanya diatur sehingga ketinggian tepat untuk masih berfungsinya tumbuhan.


Kontur air membulat di gambut membuahkan hasil maksimal jika dilakukan untuk wilayah dengan luasan memadai.  Jika gambut sudah terlanjur dibuka, kemudian parit yang dibuat hanya berupa garis-garis lurus, sulit untuk membetulkannya.



##


Propinsi Riau kurang lebih seluas 5-6 juga ha dengan hampir setengah kawasannya adalah lahan gambut 3-4 juta ha.  Karakteristik gambut di Riau, terutama gambut di bagian tengah adalah bahan organik belum terdekomposisi, banyak lignin dan kedalamannya lebih dari 5 m.  Air pasang surut dari sungai atau dari laut tidak sampai di gambut bagian tengah ini.    Pohon hutan yang tumbuh di gambut tengah mempunyai batang dengan diameter kecil tetapi dapat tumbuh hingga sangat tinggi.  Gambut bagian pinggir, mendapatkan air pasang surut sehingga proses dekomposisi bahan organik berjalan dengan baik. Gambut mempunyai kandungan lignin tidak banyak.  Hutan yang tumbuh di gambut pinggir mempunyai batang kayu besar, dan hasil pertanian juga dapat berproduksi tinggi.




Gambut setelah padat akan sangat kompak seperti tanah dan tidak dapat turun lagi volumenya.  Gambut mengandung air tetapi kapasitas mengikat air sangat kecil.  Pori-pori bahan organik sangat besar tidak mempunyai kemampuan menahan air seperti tanah mineral.  Jika gambut dikeringkan maka tanaman akan kekeringan dan mati.  Gambut yang sudah terlanjur kering, miskin unsur hara, tidak ada tanaman.  Sedikit percikan api dengan mudah menyulut api hingga terjadi kebakaran.  Gambut kering bisa diibaratkan seperti serbuk gergaji.  Gambut yang terbakar berjalan dengan lambat, hanya mengeluarkan asap, terus menjalar dan sulit untuk dipadamkan. Jika bara berjalan hingga bertemu kayu, nyala api bisa terpicu menjadi kebakaran besar dan hebat.  Hanya hujan sangat lebat yang mampu mengatasinya.  


###



Ada 2 perusahaan HTI besar di Indonesia yang hasil produksinya: satu perusahaan menghasilkan kertas dan sejenisnya sedangkan yang satunya lagi menghasilkan tissue dan peralahan rumah tangga lain berbahan pulp.  Dari ijin HTI yang dikeluarkan pemerintah, 30 % luasan lahan tidak bisa dipakai karena digunakan untuk jalan, permukiman, aliran sungai dll.  70% sisa luasan terkadang bersinggungan dengan wilayah rakyat sehingga masih bisa memanfaatkan ijin 60% luasan sudah sangat bagus.  Membuat suatu usaha dengan lahan gambut sebagai basis menimbulkan resiko sangat tinggi.  Tidak banyak orang yang tertarik untuk terlibat di bisnis tersebut.  Dari resiko tersebut sesunggunya ada potensi emas yang bisa dikembangkan.  Dua perusahaan HTI besar itu RAPP dan Sinar Mas berhasil sebagai dua perusahaan pulp besar, dengan basis tanaman sebagai bubur pulp ditanam di lahan gambut di provinsi Riau.  Perkebunan kelapa sawit juga banyak dikembangkan di Riau.  Usaha yang dikembangkan di Riau secara merupakan motor penggerak ekonomi sehingga propinsi Riau sebagai salah satu propinsi dengan tingkat kesejahteraan tinggi.


Tata kelola air gambut yang baik tentu diperlukan untuk mendukung usaha HTI dan perkebunan kelapa sawit dengan sistem. 


Luas gambut di Indonesia 14 - 15 juta ha, yang dimanfaatkan untuk sektor pertanian 2,5 juta ha yaitu kelapa sawit, HTI dan tanaman pertanian lain.






Dari penjelasan Dr. Basuki Seolah yang ditangkap penulis bahwa seolah "Barat" menentang pemanfaatan gambut di Indonesia.  "Padahal gambut dunia seluas 421 juta ha juga dimanfaatkan oleh mereka".  ujar pak Basuki. 


"Kita yang hanya punya gambut 16 juta ha; baru 2,5 juta ha dimanfaatkan aja banyak yang kebakaran jenggot."



"Coba kalian tahu tidak kenapa hutan bakau di pantai kita banyak yang habis?" tanya pak Basuki.
"Kayu bakau dibuat arang kemudian diekspor ke luar negeri."
"Bakau menghasilkan arang bentuk panjang dan teratur untuk bahan barbeqiu mereka." tambah pak Basuki
"Kita paling kalo bakar ikan pakai tempurung kelapa, enggak pakai arang bakau."
"Bakau habis, mereka berkoar-koar, toh mereka juga yang makai." timpalan pak Basuki disambut tawa yang hadir.


"Kasus serupa dengan usaha kelapa sawit di Indonesia yang banyak mendapat kritik tajam dan tantangan oleh Barat", ujar pak Basuki.
"Salah satu senjata yang dipakai adalah emisi karbon sangat tinggi dikeluarkan oleh kelapa sawit".
"Kelapa sawit akan menyaingi usaha minyak kedelai dan rapeseed mereka sehingga mereka tidak suka." kata pak Basuki
"Kelapa sawit berumur panjang, sehingga minyak yang dihasilkan banyak, terus-menerus sepanjang tahun, usaha tani efisien sehingga harga murah."kata pak Basuki
"Tentu saja kedelai yang hanya tanaman semusim akan kalah bersaing dari produktifitas, harga, dll." kata pak Basuki.


"Nah untuk mengukur kadar emisi karbon, tanaman kedelai disungkup kemudian dihitung pertukaran karbon dan oksigennya." kata pak Basuki.
"Untuk sawit, pertukaran emisi hanya dilakukan dibagian akar saja." kata pak Basuki
"Tentu saja karbon yang dihasilkan banyak."
"Coba bagian tajuk dihitung juga, pasti oksigen yang dihasilkan jauh lebih banyak." tambah pak Basuki

"Jadi kita jangan mau dibodoh-bodohi."



Menurut hemat penulis memang sudah sepatutnya dibuat peraturan dan badan yang bertanggung jawab dengan gambut.  Pemanfaatan gambut salah kelola tidak terulang lagi.  


Seberapa luas gambut yang masih ada akan dimanfaatkan lagi untuk HTI, perkebunan dan pertanian?  Perlu kajian dan penelitian sehingga semua bisa lestari.


###

Kenapa terjadi kebakaran hutan?

"Coba kalian fikir, apa mungkin sudah mengeluarkan modal banyak untuk berbinis dan kemudian dihancurkan untuk rugi?" tanya pak Basuki.
"Membakar lahan sama saja dengan membakar usaha yang susah payah sudah dirintis."
"Jika sudah terbakar pasti tanaman yang diusahakan ikut rusak."


Perusahaan besar yang ingin bisnis yang dijalankan berjalan dalam jangka panjang, tentu mengambil keputusan dengan cermat dan hati-hati.  Bahkan mereka punya lembaga riset sendiri untuk pengembangan bisnis.


Nah siapa kemudian yang melakukan pembakaran lahan?  Kenapa di Malaysia tidak terjadi kebakaran hutan?


"Di Malaysia, orang luar tidak bisa masuk ke areal perkebunan sembarangan". ujar pak Basuki.
"Penjagaan kebun sangat ketat, sehingga keluar masuk orang terjaga dengan baik". tambah pak Basuki.



"Nah di Indonesia orang luar bebas untuk keluar masuk, melintas di areal perkebunan." kata pak Basuki
"Transmigran yang tanahnya tidak bisa ditanami harus tetap menghidupi anak istri".
"Awalnya bekerja sebagai penebang pohon di perusahaan HTI."
"Dari pengalaman ini dipakai untuk membuka lahan sendiri untuk bertani."
"Kurangnya pemahaman, pendidikan, modal ya cara termudah untuk membersihkan lahan dengan dibakar."
"Api terlanjur menjalar kemana-mana dan sulit terkendali."
"Mau menelusuri perorangan yang bertanggup jawab atas kebakaran tentu hal yang sulit."


###



Kesimpulan dari ceramah tentang gambut oleh Dr. Basuki Sumawinata, bahwa gambut dapat dimanfaatkan untuk usaha perkebunan dan pertanian lain asalkan dengan tata kelola air yang baik.  Parit-parit perlu dibuat agar air di gambut tetap berjalan sesuai alirannya.  Parit ini yang menjaga agar nutrisi dan ketersediaan air selalu ada untuk mendukung tumbuhnya tanaman.







 -end-




































«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply