» » Harus pamer jika ingin survive kota X

 Sembawa, 30 Desember 2020


Green all the ways



Ada sebuah kisah, saat Siti tinggal di suatu kota. Kota itu, sebutlah kota X ada di pulau Sumatera. Kotanya besar dengan segala fasilitas tersedia. Ada pusat perbelanjaan (mall) yang menjual barang-barang bermerk. Produk high end dapat dibeli di mall yang namanya Sun Plaza itu. Restoran mewah, rumah sakit, sekolah swasta justru yang lebih bagus kualitasnya dibandingkan sekolah negeri, hotel sekelas JW Mariot pun ada di kota X itu. Biaya hidup di kota tersebut tergolong mahal, sebagai ilustrasi bayaran tukang pijit tahun 2015 dengan durasi 30 menit mematok tarif Rp 75.000,-. Bayi deman yang dipijit ibu tersebut langsung sembuh dipercaya orang-orang sekitar rumah ibu pijit.  Di sana ada moda transportasi bentuk becak tetapi didorong oleh motor, orang menyebut bentor_becak motor. Tarif bentor ini pun tergolong mahal, dengan perbandingan naik Gojek hanya bayar Rp 10.000,- vs Rp 50.000,- dengan naik bentor. 


Ada berbagai suku di kota besar X tersebut seperti Melayu, Minang, Batak Muslim, Batak Kristen, Cina, India, Jawa, Aceh. Mungkin masih ada suku lain di kota tersebut tetapi Siti tidak tahu. Sekolah dasar dan menengah di kota X tersebut tidak ada pelajaran bahasa daerah. Mungkin karena suku bangsa yang bermukin di kota X tersebut pendatang dan jumlahnya tidak ada yang dominan sehingga tidak ada pelajaran bahasa daerah di sekolah.


Siti kaget dengan budaya di kota tersebut. Dia sulit sekali beradaptasi. Ada beberapa orang yang Siti bisa dekat, tetapi orang itu ternyata lain di depan lain lagi di belakang. "Ah..tidak ada orang yang bisa dipercaya", guman Siti. Siti memilih menyendiri. Walau begitu, Siti tetap mencoba masuk ke berbagai lapisan sosial di kota itu mulai dari TK tempat anak dia sekolah, SMP swasta yang favorit di kota itu tempat anak pertamanya sekolah, di lingkungan ibu-ibu perwiritan, ibu-ibu arisan di lingkungan suaminya bekerja dan pasar tradisional


***

Sebelum tinggal di kota X, Siti pernah bermukim di kota Pematang Siantar, pernah juga tinggal di kota Porsea dekat Danau Toba. Siti bahagia saat tinggal di kota tersebut. Kedua anak Siti lahir di kota Pematang Siantar.  Pajak (pasar) Parluasan dan pajak Horas tempat dia belanja masih selalu teringat. Buah durian berlimpah saat musimnya dan harganya murah. Buah jeruk Medan yang besar dan manis juga harganya sangat murah jika sedang musimnya. Ada pisang Barangan yang manis dan enak. Makanan terlezat itu lontong yang diberi kuah tauco plus tahu goreng plus irisan cabai hijau dan sedikit udang.  Sajian biasanya dihidangkan di acara pengajian wirid (membaca surat Yasin). Masih ada makanan lezat yaitu ayam kampung diberi bumbu cabai hijau dan andaliman. Kota Siantar ini tergolong sejuk, pagi hari panas kemudian sore harinya hujan. Pagi hari, pekerja kebun kelapa sawit membawa egrek (bambu yang ujungnya diberi pisau) panjang naik sepeda motor. Egrek ini digunakan untuk membersihkan daun kelapa sawit bagian bawah yang mulai mati. Kota yang sungguh sangat berkesan baik bagi Siti.


Suku Batak baik muslim dan kristen yang mendominasi kota tersebut. Hal yang berkesan bagi Siti antara agama Kristen dan Islam saling bertetangga dengan rukun. Batak muslim banyak yang menikah dengan suku Jawa peranakan. Siti pernah bertanya, "kenapa antara Islam dan Kristen sangat rukun dan tidak pernah terjadi kekerasan di kota ini?". Jawaban penduduk setempat adalah kekuatan suku lebih besar dibandingkan fanatisme agama. Suku batak, misalnya marga Pasaribu masuk Islam.  Marga Pasaribu lain yang beragama kristen tetap menganggap saudara yang sudah muslim tersebut.  Adat di sana antar saudara satu marga harus saling membantu, baik beragama kristen dan islam.  Masjid dan gereja saling berhadapan di satu jalan di kota Pematang Siantar adalah pemandangan yang biasa. 


****

Perkebunan kelapa sawit mendominasi perekonomian masyarakat di provinsi Sumatera Utara. Perkebunan dikelola oleh perusahaan besar negara, perusahaan besar swasta dan kebun milik masyarakat. 


Perkebunan yang terkenal yaitu perkebunan besar milik negara. Perkebunan ini sudah ada dari jaman Belanda dan terus bertahan hingga saat ini (tahun 2020). Bangunan rumah untuk staf dan karyawan di kebun masih menggunakan bagunan peninggalan Belanda. Bangunan rumah untuk staf dan kepala kebun (istilah sekarang manager) besar, masing-masing ruangan luas, tembok yang tinggi, atap juga tinggi. Mikro klimat dari bangunan Belanda sudah diatur untuk wilayah tropis, sehingga sinar matahari masuk ke seluruh ruang di rumah dan dingin walaupun tanpa AC.  Suhu dingin disamping di tembok dan atap yang tinggi juga dari jendela rumah yang besar dan memanjang. Rumah Belanda merupakan bentuk kemewahan duniawi, tapi ada tapinya. Rumah besar otomatis biaya perawatan juga besar. Halaman rumah juga luas sehingga harus punya satu orang untuk membersihkan, menata dan merawat tanamannya.


Rumah yang lebih kecil dimiliki oleh staf dibawah kepala kebun. Rumah lebih kecil ini juga masih besar untuk ukuran rumah di kota. Coba bayangkan ya, ada 4 kamar tidur yang masing-masing kamar luasnya 4x4 m2. Rumah staf ini pun butuh tukang untuk merawat halaman dan ART yang bekerja di dalam rumah.


Rumah ketiga diperuntukkan bagi karyawan. Rumah ini berkelompok yang letaknya terpisah dari rumah kepala kebun dan staf. Rumah karyawan kecil luas kurleb 74 m2.


***

Siti pernah merasakan hidup di lingkungan sosial kebun kelapa sawit. Rumah yang ditempatinya level staf. Ada perbedaan strata sosial di kebun tempat dia bermukim dulu, tapi masih dalam level saling respect antar staf dan karyawan. Pengajian wirid (membaca yasin dan tahlil) rutin diadakan setiap minggunya, yang lokasinya bergilir di rumah karyawan dan staf. Ada ratusan orang di kebun tersebut, sehingga jatah sebagai tempat wirid hanya satu kali dalam satu tahun. Siti ikut acara wirid tersebut. Semua ibu-ibu duduk lesehan di tikar. Kalo ibu kepala kebun yang dapat jatah wirid, ya rumahnya luas dan lapang. Jika karyawan yang mendapat jatah wirid, lumayan cukup berdesak-desakan karena rumah dari kantor untuk mereka tidak luas. Di perumahan karyawan tersebut ada madrasah untuk baca tulis Al Qur'an. Anak Siti ikut mengaji dan bergaul dengan anak-anak karyawan lain. Satu bus sekolah besar yang disediakan kebun juga diisi anak kepala kebun, anak staf dan anak-anak karyawan lain. Semua nyampur saja, tidak terlalu ada perbedaan kasta sosial.


Siti tumbuh dan besar di lingkungan egaliter sehingga dia menghormati siapapun, baik yang di atas dan di bawah. Siti bergaul dominan di lingkungan kebun, paling ke kota untuk ke pasar. Dia tidak eksplor ke lingkungan lain (masyarakat yang tidak tinggal di kebun) sehingga tidak banyak pengalaman diperolehnya. Siti juga tidak pernah menunggu anak di sekolah sehingga tidak tahu kondisinya bagaimana. Siti sih percaya aja dengan bus jemputan dan sistem pengajaran di sekolah swasta khusus anak-anak dari perkebunan di sekitar Pematang Siantar itu. Siti memang tinggal di kebun, tetapi bukan Perkebunan Besar Negara. Siti tidak ada pengalaman langsung berinteraksi dengan ibu-ibu dari Perkebunan Besar Negara.

Cuma...pas Siti pengantin baru kemudian tinggal di kebun.... Siti agak tidak kerasan sih. Saat itu ibu-ibu senior masih banyak. Siti syerem kalo ikut arisan. Entahlah, Siti merasa terintimidasi. Ibu-ibu senior itu glamor dan agak-agak memandang rendah orang. Siti kena imbasnya tentunya. Untung ibu-ibu senior segera pensiun dan tidak ikut kegiatan arisan lagi.  Yang muda saat itu, tidak terlalu menerapkan sistem perbedaan senior junior, sehingga Siti nyaman tinggal di kebun


****


Suatu hari Siti mengurus surat jalan di Polres kota. Petugas sangat ramah, beliau orang perantauan. "Cari uang di kota ini mudah tapi kok hidup tidak tenang ya mbk." Ujar bapak petugas Polres. Pak polisi berkata seolah curhat apa yang dirasakan. 


Mari mengurai kenapa pak Palres dan Siti sama-sama tidak tenang berdomisili di kota tersebut.


Siti yang hidupnya selalu berpindah-pindah kota jadi dapat belajar bahwa kultur antar masyarakat itu beragam. Siti pernah tinggal di kota J, B, PS, M, G, dan S. Ada budaya yang relatif sama antar kota ada yang beda banget 180 derajat dech. Misal masyarakat di Yogyakarta, tabu untuk mengatakan kehebatan diri ini dan itu juga kekayaan yang dimiliki dari A hingga Z. Mungkin ada sih orang yang pamer abis tetapi jumlah sedikit. Sebaliknya, jika teman tinggal di kota X harus terbiasa mendengarkan orang-orang yang keterampilan berbahasa tinggi (pintar ngomong aka cerewet). Segala macam hal diceritakan mulai dari sudah bisa menyetir mobil, anaknya sekolah di SD islam dengan kegiatan ekskul ini itu, cerita kumpul bareng keluarga di pantai, suaminya yang sedang dinas ke luar kota, sudah mulai memberi rumah di kawasan perumahan, pembantunya minta baju tertentu di almirinya dll.  Inti cerita selalu bahwa dirinya, suaminya, anaknya, keluarga besarnya paling baik dan hebat. Kadang ada teman lain yang menimpali pamer tidak mau kalah. Hheheheheh jadi percakapan antar ibu-ibu yang seperti anak SD gitu. Sebulan dua bulan Siti tahan, lama-lama eneg juga mau muntah.


Penampilan adalah nomor satu. Penampilan seorang istri harus menyesuaikan jabatan suami. Ibu berkerudung dengan riasan wajah, perhiasan emas sesuai kebutuhan kadang banyak, kadang sedikit saja dipakai, tas merk Bonia, jam tangan merk Bonia, baju yang pantang dipakai beberapa kali, sepatu merk Everbest, dsb. Setiap ada pertemuan (arisan, kondangan, antar anak ke TK SD) wajib tampil sempurna semaksimal mungkin. Jika tampilan ibu yang sudah menjabat sederhana, aduh...jangan harap ibu-ibu yang ada di bawahnya akan menghargai. Suatu hari Siti mencoba mengikuti gaya hidup ibu-ibu di kota X. Hasilnya adalah capek. Untuk satu kali tampil, energi yang dikeluarkan besar: cari baju, sepatu, kerudung. Barang hanya sekali pakai. Ratusan ribu dihambur begitu saja. Banyak mubazirnya kali ya? Siti selalu terinspirasi ibu-ibu macam ibu Risma yang sekarang menjadi menteri sosial. Tampilan bu Risma sederhana saja tetapi manfaat bagi masyarakat luar biasa. Kekaguman lain tertuju pada almarhum Prof Sriani, penemu pepaya varietas California (Calina). Ibu profesor yang sangat bersahaja tetapi ilmunya bermanfaat bagi bangsa. 


Ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan gaji suami, gaji yang diperoleh halal dari keringat dengan jumlah  standar, sepertinya sulit mengikuti gaya hidup sultan. Nia Ramadhani Bakri bisa lah penampilan wow, rumahnya juga seluas 5000 m2. Siti angkat topi untuk ibu-ibu yang memilih gaji suami dinikmati bersama keluarga. Gaji diperuntukkan yang penting seperti membeli perabot berkualitas, mesin cuci bukaan depan, kulkas besar sehingga tidak perlu tiap hari ke pasar, panci-panci yang berkualitas baik, dan kebutuhan makan lain yang baik. Siti sedih ketika melihat, demi mengikuti gaya hidup teman-teman arisan yang wow, mereka mengorbankan kebutuhan keluarga. Baju yang dipakai untuk sekali dua kali tampil, aneka jam tangan, berbagai tas bermerk, dll tentu membutuhkan biaya besar. Si ibu tampil wow di luar tetapi setelah dilihat di dalam: sering gonta-ganti pembantu karena tidak tahan harus mencuci dengan tangan dan bejibun pekerjaan lain, bunga-bunga di halamannya yang kering tidak ada yang mengurus, perabot rumah yang ala kadarnya, dsb. Jika si ibu terus merongrong suami untuk memenuhi standar teman-teman arisan, korupsi bisa jadi pembenaran. Sayang banget... 


Mohon ijin ibu ketua, Siti ijin tidak bisa mengikuti hal yang seperti diutarakan di atas. Mohon maaf jika membuat marah dengan istilah bling-blingtas komunitas. Bagi Siti hal di atas merupakan sesuatu yang berbinar-binar (bling-bling) dan mohon maaf Siti tidak bisa hanya jadi pengikut. Ada prinsip yang Siti pegang dalam hidup ini.  


#

Menganggap rendah orang lain.  Membahasakan tinggi untuk diri sendiri. Menghargai orang lain hanya bagi yang berpenampilan glamor, bermobil, berumah wow walaupun kekayaannya dipertanyakan darimana asalnya.


Teman X bertamu ke rumah dinas Siti, kemudian bapak tersebut berkata, "rumah dinas general manager (GM) kok apa adanya banget?!" 


Mari dibedah komentar bapak x tersebut. Komentar ini tipikal sekali masyarakat di kota itu. Siti pernah bermain ke rumah teman kuliah S1, ternyata hanya bertemu dengan ibu teman tersebut. Siti ikut mengobrol santai, biasa saja, dengan duduk di balai-balai yang ada di dapur.  "Kok kamu mau sih duduk di dapur?" tanya teman dengan nada surprise. "Biasa saja kan, bertamu, tuan rumah mengajak ke dapur ya ikut kedapur." Jawab Siti setengah bingung. Ternyata, biasanya, kalo ada yang bertamu itu, apalagi ke rumah yang biasa atau lebih jelek akan bersikap angkuh. Misal lain, tanpa membuka sepatu (tuan rumah tidak pakai sepatu tentunya), kemudian berjalan-jalan di dalam rumah dengan gaya nyebelin. Siti sudah eneg, jadi tidak terekam di memori apa yang diucapkan si tamu.


Belajar dari web PT Perkebunan Nusantara IV, GM itu membawahi beberapa kebun dan pabrik pengelahan kelapa sawit (PKS). Kebun dan PKS dipimpin oleh Manager. Kebun di PTPN terdiri dari beberapa afdeling yang luasnya beberapa ratus hektar.


GM dipegang oleh peneliti yang waktunya dari awal masuk kerja itu dihabiskan dengan mengerjakan penelitian, seminar, konferensi dan sekolah S2 hingga S3. Gaji standar, mas Peneliti jujur hanya mengambil yang jadi haknya, mana bisa mengisi rudin dengan perabot macam: guci tingginya 2,5 m, jam segede dan setinggi almari baju, hiasan dinding kabah yang ukurannya 3 m x 4 m, kursi gajah yang besar. Disamping tidak ada biaya, kan tidak semua orang berselera menggunakan barang dengan tipe seperti itu. Saat menjabat GM, mas Peneliti lebih parah lagi, belum punya rumah sendiri.


GM membawahi beberapa manager yang mengelola kebun. Kekayaan beberapa bapak manager lebih banyak luar biasa dibandingkan mas GM. Rumah pribadi bapak manager bagai istana dengan halaman yang luas, tidak hanya satu buah lho rumahnya. Wajar sih dengan komentar, 'rumah GM kok apa adanya', jika dibanding rumah bawahannya. Kenapa kepala kebun (manager) lebih kaya? Karena ada sistem, hasil panen buah kelapa sawit, sekian persen diberikan kepada manager. Sistem ini bagus sebagai intensif sudah mengelola kebun dan menghasilkan buah kelapa sawit yang banyak. Hanya, kalo jabatan kepala kebun diberikan puluhan tahun, ada kesenjangan kesejahteraan jadinya. Saran Siti, ibu RT yang sotoy, kepala kebun sebaiknya diberikan kepada staf yang baru diangkat. Ada sistem pendampingan tentunya. Biasanya anak-anak baru bekerja lebih bersemangat. Bisa juga, jabatan kepala kebun seperti jabatan presiden yang ada maksimal limit berkuasa. 


Harusnya Siti menimpali bapak yang komen dengan kalimat sarkasme, "tenang, nanti mas GM korupsi uang kantor ya pak untuk membuat rumah bagai istana dan mengisi rudin dengan perabot mewah." Atau kalimat to the point, "Harusnya bapak bersyukur punya atasan yang amanah, bukan malah mengejek dan mendorong orang korupsi uang kantor."


Siti fikir, sikap tidak menghargai orang yang posisinya lebih rendah, hanya dijumpai di lingkungan kantor itu. OOOOO (O nya banyak dan besar-besar tanpa kekagetan) ternyata dijumpai di segala lingkungan mulai kampus tempat Siti pernah mengajar, di pasar, di TK, di SMP swasta tempat anak Siti sekolah, di sanggar senam dll. 


Semua orang ingin dihargai, makanya untuk mendapatkan respect tersebut, orang-orang di kota X  harus menjelaskan siapa dirinya (yang hebat-hebat tentunya). Orang harus tampil mewah dan glamor di luar (di dalam kadang memprihatinkan). 


Ibu bermobil pajero mengajak ibu-ibu yang sedang menunggu anak di TK ke warung. Makan lontong dan gorengan. Siti ragu-ragu antara ikut dan tidak. Karena dipaksa teman lain, akhirnya Siti ikut. Bagaimana si ibu bermobil pajero tidak menghargai ibu-ibu TK lain. Dengan enteng bilang, setelah dari warung akan ke tempat A. Jadi ibu-ibu ke TK naik bentor (becak motor). Lha kenapa tidak antar dulu ibu-ibu ke TK naik mobilnya kemudian baru pergi ke tempat A. Tepok jidat, ampuuuuuuun.


Tidak semua ibu-ibu di TK beripe tepok jidat. Ada juga bunda T yang inspiratif. Bunda T ini menyediakan kue-kue untuk SD swasta. Hasil penjualan kue digunakan untuk biaya sekolah anak asuhnya. Bunda T ini mengajar di beberapa sekolah swasta di kota X. Ada kok orang humble, sederhana, banyak kegiatan sosialnya di kota X, tapi jumlahnya sedikit. 


***

Cerita dari anak Siti yang waktu di kota X sekolah di SMP swasta. Contoh teman sekelas anak Siti, anak pejabat PLN provinsi. Anak kalo pas main ke rumah Siti diantar jemput mobil Lexus SUV. Anak-anak SMP swasta di sana banyak dari orang terpandang di kota X. "Anak kaya tidak mau berteman dengan anak-anak biasa", kata anak Siti. 

"Kenapa?", tanya Siti.  

"Takut anak biasa ini tidak bisa mengikuti percakapan." " Takut menyinggung perasaan mereka", jawab anak Siti.

Siti pernah sekali ke SMP anaknya. Halaman sekolah penuh mobil. Ibu-ibu yang menunggu anak pulang sekolah berpenampilan glamor.  Kadang ada anak yang pesan makan siang dari restoran Nelayan di mall Sun Plaza. FYI, Nelayan tergolong restoran mewah yang kadang digunakan untuk menjamu tamu-tamu suatu instansi. Anak SMP dengan HP Apple itu hal biasa saja. Untung anak Siti ini sederhana banget, tidak terpengaruh gaya hidup jet set teman-temannya. Uang jajan yang diberikan Siti masih utuh, karena dia minta dibawakan bekal dari rumah saja. Siti harus belajar dari anaknya, temannya banyak, masuk ke kalangan atas bisa, ke teman-teman biasa juga bisa.


***

Beruntung Siti sekarang tidak tinggal di kota X lagi. Siti senang karena dia tidak harus menjelaskan dirinya ke orang lain, tidak harus mengikuti gaya hidup di sana dll. Siti sekarang tinggal di desa lagi, di sekitar rudinnya hijau, udara sejuk penuh oksigen, masyarakatnya ramah dan menghargai orang lain. Alhamdulillah, badai berlalu.


Siti tergolong orang yang cinta lingkungan. Siti tidak mudah membuang plastik. Plastik bekas dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tas kain dan plastik bekas selalu dibawa jika belanja kebutuhan. Siti bawa plastik bekas untuk belanja ikan dan sayur mayur di pasar Simpang Limun kota X. Pedagang di sana itu mengatai dengan kalimat yang menyakitkan hati atas prinsip Siti yang membawa tas kain dan plastik setiap belanja. Beda dengan pedagang di mana Siti tinggal sekarang. Pedang di tempat baru ini justru senang dan memuji sikap Siti yang membawa plastik bekas dari rumah. "Wah bagus ya mbk, tidak buang-buang plastik." kata para pedagang. Alhamdulillah, Siti bahagia di tempat baru.


---end ---


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply